Di Indonesia, nama Raden Ajeng Kartini selalu dikaitkan dengan perjuangan emansipasi perempuan. Di tengah berbagai tantangan pada masa kolonial, Kartini berdiri tegak menyuarakan pentingnya pendidikan dan peran aktif perempuan dalam pembangunan bangsa. Semangat itu kini mengalir dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk di lapangan hijau — sepak bola.
Kini, puluhan anak perempuan dari berbagai daerah di Indonesia membawa semangat Kartini untuk unjuk gigi di pentas internasional. Mereka tergabung dalam skuad putri Indonesia kategori U-12 dan U-14 yang tengah bersiap menghadapi ajang Junior Soccer School & League (JSSL) Singapura 2025, sebuah turnamen sepak bola remaja yang bergengsi di Asia. Persiapan serius mereka mencerminkan satu hal: semangat Kartini tidak hanya hidup di buku sejarah, tapi juga menyala dalam setiap tekel, umpan, dan gol di lapangan sepak bola.
Mimpi yang Dibentuk dari Tanah Keringat dan Dedikasi
Skuad putri Indonesia yang akan tampil di JSSL Singapura bukanlah tim sembarangan. Mereka adalah hasil seleksi dari MilkLife Soccer Challenge 2024, kompetisi nasional yang digelar di delapan kota besar. Dari ratusan peserta, 24 pemain terpilih yang kini masuk dalam dua tim nasional usia dini: MilkLife Shakers (U-12) dan HydroPlus Strikers (U-14).
Nama-nama tim ini mencerminkan semangat energik dan profesionalisme. Namun, di balik itu semua, ada cerita tentang mimpi anak-anak perempuan dari pelosok negeri yang berani bersaing, melampaui batas-batas stereotip, dan menempatkan diri mereka sejajar dengan pemain laki-laki dalam hal kualitas dan semangat juang.
“Sepak bola bukan hanya untuk laki-laki. Saya ingin buktikan bahwa perempuan juga bisa bersinar,” ujar Aulia, salah satu pemain berusia 11 tahun asal Makassar, yang ditemui saat sesi latihan.
Pemusatan Latihan di Kudus Menyatukan Kekuatan dan Strategi
Demi menyatukan kekuatan dan membangun chemistry tim, para pemain menjalani pemusatan latihan (TC) intensif di Supersoccer Arena, Kudus, Jawa Tengah. Latihan digelar selama sembilan hari, dari 6 hingga 14 April 2025, dengan dipimpin oleh pelatih berpengalaman Timo Scheunemann.
Timo bukan sosok asing di dunia sepak bola Indonesia. Ia pernah menangani Timnas Wanita dan dikenal memiliki pendekatan psikologis yang kuat dalam membentuk karakter pemain muda.
“Yang kami lakukan di Kudus bukan hanya melatih teknik, tapi juga membangun jiwa seorang pesepak bola. Kami ingin anak-anak ini punya mental bertarung, rasa percaya diri, dan rasa cinta terhadap tim,” jelas Timo.
Latihan dilakukan dua kali sehari dengan menu variatif: teknik dasar, formasi taktik, latihan serangan balik, penyelesaian akhir, hingga simulasi pertandingan. Bahkan ice bath dan stretching diajarkan secara profesional untuk melatih pemulihan otot.
Bermain Cerdas Filosofi yang Ditanamkan Sejak Dini
Timo menekankan bahwa timnya harus bermain cerdas, bukan hanya kuat atau cepat. Dalam setiap sesi latihan, ia selalu menyisipkan prinsip-prinsip berpikir taktis dalam bermain: kapan harus menekan, kapan mengalirkan bola, kapan mengubah ritme permainan.
“Bermain cerdas artinya tahu kapan harus bertahan, kapan menyerang, dan bagaimana membaca pergerakan lawan. Ini bukan soal menang atau kalah saja, tapi soal memahami permainan,” katanya.
Pendekatan ini sejalan dengan semangat Kartini: perempuan tidak hanya mampu, tetapi juga pintar. Mereka bisa mengambil keputusan di bawah tekanan, membaca situasi, dan menjadi pemimpin di lapangan.
Simulasi Lawan Tim Putra Ujian Nyali dan Daya Juang
Sebagai bagian dari persiapan, tim putri juga dijadwalkan untuk menghadapi tim putra kelompok umur U-11 dan U-12 dalam laga uji coba. Bukan untuk menakar kekuatan semata, tetapi untuk melatih mental.
“Main lawan anak laki-laki itu menantang. Tapi kami tidak takut. Ini justru bikin kami tambah semangat,” ujar Nabila, pemain bertahan asal Bandung.
Dari laga uji coba tersebut, tim pelatih menilai banyak hal: ketahanan fisik, komunikasi antar pemain, serta kedisiplinan dalam menjaga posisi. Bahkan, beberapa pemain menunjukkan kepemimpinan yang luar biasa, menjadi komandan lini tengah atau benteng pertahanan yang sulit ditembus.
Bukan Sekadar Bertanding Tapi Mewakili Indonesia
JSSL Singapore bukan sekadar turnamen biasa. Di ajang ini, lebih dari 450 tim dari 17 negara akan bertanding. Ini artinya, anak-anak Indonesia akan menghadapi lawan dari Jepang, Korea Selatan, Australia, hingga Eropa.
“Anak-anak ini akan merasakan atmosfer turnamen internasional. Mereka tidak hanya belajar bermain, tapi juga berinteraksi lintas budaya. Itu penting untuk pembentukan karakter,” kata Timo.
Mereka bukan hanya bermain sebagai individu atau tim, tapi sebagai perwakilan dari bangsa. Mereka membawa nama Indonesia di jersey mereka. Dalam setiap gol, ada makna kebanggaan nasional.
Orang Tua dan Masyarakat Pilar Dukungan yang Tak Tergantikan
Di balik semangat para pemain, ada peran besar orang tua. Tak sedikit dari mereka yang menempuh perjalanan jauh untuk mengantar anak mereka mengikuti seleksi maupun TC. Mereka memberi semangat, membekali nutrisi, bahkan belajar memahami dunia sepak bola demi mendukung anak-anak mereka.
“Anak saya memang suka bola sejak kecil. Saya dukung penuh. Kalau bukan kita sebagai orang tua yang percaya pada mimpi anak, siapa lagi?” ujar Andi, ayah dari Zahra, gelandang kreatif asal Samarinda.
Dukungan masyarakat juga sangat diharapkan. Sepak bola putri di Indonesia masih dalam tahap perkembangan, dan hanya dengan dukungan moral serta media, geliatnya bisa tumbuh menjadi kekuatan besar di masa depan.
Menanam Harapan untuk Masa Depan Sepak Bola Putri Indonesia
Melalui program seperti ini, Indonesia tengah menanam benih masa depan sepak bola putri. Mungkin saat ini mereka masih berusia belia, namun kelak merekalah yang akan menjadi pilar Timnas Wanita Indonesia di SEA Games, Asian Games, atau bahkan Piala Dunia Wanita.
Bayangkan jika lima hingga sepuluh tahun ke depan, nama-nama seperti Rara, Intan, atau Nisa menjadi andalan Garuda Pertiwi. Mereka tak hanya bermain, tapi juga menginspirasi jutaan anak perempuan lainnya untuk berani bermimpi.
JSSL Singapore Lebih dari Sekadar Turnamen
Turnamen ini adalah pengalaman hidup. Anak-anak belajar tentang disiplin, kegagalan, kemenangan, kerja sama tim, dan arti menghormati lawan. Di Singapura nanti, mereka akan tinggal bersama, makan bersama, dan berbagi cerita — semuanya adalah bagian dari proses pendewasaan.
Yang lebih penting: mereka akan bertemu dengan anak-anak dari negara lain yang memiliki mimpi yang sama. Dari situ, mereka belajar bahwa sepak bola bukan hanya soal menang-kalah, tapi tentang menjalin koneksi, memahami perbedaan, dan merayakan semangat sportivitas.
Kartini di Era Modern Bernama Skuad Putri Indonesia
Semangat Kartini tidak mati. Ia hidup dalam kerja keras di lapangan, dalam peluh para pemain muda, dalam strategi pelatih, dalam doa orang tua, dan dalam dukungan publik.
Skuad putri Indonesia yang akan berlaga di JSSL Singapore adalah representasi nyata dari Kartini modern: perempuan muda yang berani bermimpi, tangguh, cerdas, dan penuh semangat juang.
Mereka mungkin belum membawa pulang piala, tapi mereka sudah membawa pesan penting: bahwa perempuan Indonesia bisa, dan layak mendapat panggungnya — bahkan di dunia sepak bola yang selama ini didominasi laki-laki.
Semoga kiprah mereka di Singapura menjadi pijakan awal bagi era keemasan sepak bola putri Indonesia. Karena seperti kata Kartini, “Habis gelap, terbitlah terang.” Dan di lapangan hijau, terang itu kini menyala dari kaki-kaki kecil yang berani menantang dunia.
Baca Juga: